Monday, September 17, 2007

wawancara imaginer dengan Munir


Selamat pagi Cak, bagaimana keadaannya?
“Pagi, Alhamdulillah”

Cak, langsung saja, kami ingin bertanya tentang beberapa hal, pertama; Bagaimana tanggapan Cak Munir terhadap keputusan MA yang membebaskan Polycarpus pada 4 Oktober 2006 lalu?
Ya, memang terdengar aneh, untuk sebagian kalangan mengenai bebasnya Poly yang dikatakan tidak mempunyai motivasi untuk membunuh. Tapi alasan MA benar! saya juga yakin kok kalau Poly memang tidak mempunyai motivasi untuk melakukannya, ditambah bukti - bukti yang kurang mendukung dalam konteks pidana murni ya. Sebenarnya pengadilan memang tidak mendapatkan apapun!

Jadi Cak Munir tidak kecewa dengan keputusan MA?
Saya tidak bilang begitu! Saya justru sangat kecewa dengan seluruh proses yang terjadi sejak awal, tapi kalau kamu tanya apakah alasan keputusan MA salah? Saya jawab tidak!

Kenapa begitu Cak?
Begini dik, Poly jelas tidak mempunyai motivasi pribadi untuk membunuh saya, dan siapapun yang melakukannya, motivasinya tidak akan datang dari orang tersebut! Kalau kita cerdas menganalisa, pembunuh hanya menjalankan perintah (order) karena demand - nya ada (permintaan) dan itu berbeda dengan motivasi, its ordered! Perintahnya seperti personel TNI yang dapat tugas membunuh GAM, mereka (personel TNI) tidak punya motivasi, mereka hanya menjalankan perintah, sekali lagi its ordered!

Lantas siapa yang memberikan order?
Order (perintah) itu ada karena ada demand (permintaan), siapapun yang memberikan order dia pasti tahu motivasinya, dan siapapun yang membuat demand, dialah yang membuat motivasi tersebut!

Menurut Cak Munir, kira - kira kenapa Cak Munir dibunuh?
Disitulah tantangan yang seharusnya diungkap terlebih dahulu, paling tidak ada analisa yang benar - benar mendalam sebelum kita mengungkap siapa yang membuat dan mempunyai motivasi, kemudian memberi order, dan siapa yang mengexsekusi! Jika motivasinya bisa kita ungkap terlebih dahulu, kita bisa tahu kenapa saya harus di eliminated, apakah saya dianggap terlalu membahayakan negara? Atau memang ada “Gringo” didalam pemerintahan lama yang ingin berpetualang? Berangkat dari situ maka kita bisa mengembangkan penyelidikan terhadap orang yang memberikan order, yang dibawahnya ada pelaksana (executor).

Kenapa begitu Cak? Bukankah pelakunya (exsekutor) harus ditangkap baru kita kembangkan motivenya?
Itu kriminal biasa (maling ayam)! Tangkap malingnya, kita interogasi, tanya kenapa dia mencuri? Tapi kasus ini bukan kriminal murni, menurut TPF yang dibentuk oleh presiden, kasus ini menyangkut konspirasi intelligence!

Kalau ini adalah persoalan intelligence seperti yang katakana oleh TPF, lantas bagaimana cara menyikapinya?
Ok! Jika kita sepakat bahwa ada unsur intelligence dalam kasus ini, berarti persoalan ini tidak berdiri sendiri, dan kita tidak bisa bertindak berdasarkan fakta - fakta ordinary crime murni, ataupun memberlakukan azas - azas kriminal biasa seperti yang kita lakukan pada maling ayam tadi! This is extraordinary, that's why it should be different!

Maksudnya Cak?
Intelligence itu dalam konteks apapun, “never stand alone”, disana ada yang dinamakan intelligence aspect, pattern of intelligence, ada cycle intelligence, dan intelligence structure, artinya; segala hal dalam intelligence akan saling terkait dan berhubungan, dari mulai penentuan status, data collection, analysis, mobilisasi, order, hingga exsekusi, semua itu ada stuktur dan scheme -nya, dan jangan lupa, pasti ada pertanggung jawaban dan report!

Wah! Berarti pembunuhan Cak Munir itu adalah kejahatan structural ?
Kalau itu adalah konspirasi intelligence, ya! Tapi kalau itu dikatakan pidana murni, sekali lagi motivasinya tidak ada!

Lantas bagaimana cara mengungkap/membuka struktur, pola dan aspek - aspek tersebut cak?
Wah, itu gampang - gampang susah ya! Gampang kalau ada will (kehendak) dari pemerintah serta desakan politik yang kuat baik dari legislative dan masyarakat, susah kalau…

Sorry saya potong Cak! Kenapa pemerintah cak?
Ya jelas dong! Pertama; jaminan keadilan dan hukum harus di berikan oleh pemerintah kepada setiap warga negaranya tanpa terkecuali! Yang kedua; Supreme structure atau struktur tertinggi dari intelligence adalah pemerintah! Karena intelligence itu bukan aktivitas pribadi! Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan kegiatan intelligence atas kehendak dirinya sendiri, misalnya maling ayam tadi, dia tidak dapat dikatakan melakukan kegiatan intelligence meskipun itu dilakukan dengan sangat terencana, kalau itu namanya crime! Sedangkan Intelligence adalah aktivitas negara! Makanya dia punya struktur dan punya mekanisme pertanggung jawaban, dan biasanya itu sangat classified!

Artinya negara pasti tahu kenapa Cak Munir dieleminated?
Seharusnya ya! Karena munculnya demand (permintaan) untuk mengeleminasi saya pasti datang dari structural intelligence yang lebih tinggi, need analysis yang panjang, tidak dari executor secara personal! Baru kemudian ada order, mobilisasi hingga exekusi dan terakhir action report, setelah mission accomplished!

Itu sebabnya Polycarpus dikatakan tidak terbukti mempunyai motivasi pribadi untuk membunuh?
Betul! Once again its an order! Kamu pinter juga, hehehehe

Tanggapan Cak Munir sendiri dengan di tetapkannya dua tersangka baru?
Wah gimana ya? Rasanya kok pemerintah seperti bermain - main dengan keadilan, mereka hanya mengocok kartu sambil mengulur waktu agar kasus ini pelan - pelan hilang dan terlupakan, sejak awal saya kecewa dengan prosesnya, pemerintah hanya manis dibibir dan hanya memberi janji - janji tanpa pernah bisa kongkrit, saya yakin pemerintah ini tidak akan lulus dalam test of our history, its very costly!

Jadi Cak Munir sangat pesimis bahwa kebenaran akan terungkap?
Sangat pesimis! kasus besar seperti trisakti, semanggi I dan semanggi II saja tidak pernah dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan fraksi yang secara bulat menolaknya adalah fraksi partai demokrat (partainya SBY), apalagi kasus saya? Dan masih banyak lagi kasus - kasus lain yang terkubur begitu saja ketika berhadapan dengan tembok impunity! Kalaupun ada tersangka baru saya rasa pemerintah hanya takut kehilangan muka sambil mengulur waktu!

Kenapa tembok impunity begitu sulit untuk dirobohkan cak?
Pertama; karena tidak adanya desakan yang massif dari kelompok pro demokrasi yang tercerai - berai untuk mendorong hal itu, kedua; agenda reformasi telah “dirampas” oleh elite politik sehingga yang terjadi selalu negosiasi terhadap kekuatan - kekuatan masa lalu (orde baru). Ketiga masyarakat sesungguhnya melakukan kejahatan berdiam diri (silent crime), karena membiarkan kekuatan orde baru memperkokoh tembok impunity!

Harapan Cak Munir sendiri?
Saya tidak berharap banyak, karena ini adalah teodesi Leibeniz, “kita hidup di dunia terbalik dari dunia yang mungkin”, artinya kita harus memperjuangkan sendiri keadilan dan menyatukan kembali segenap kekuatan pro demokrasi tanpa harus berharap pada keniscayaan pemerintah, keadilan harus kita rebut!

Terima kasih Cak!

Labels:

Friday, September 14, 2007

TUNTUTAN EERESCHULD TERHADAP SOEHARTO DAN ORDE BARU”

"TUNTUTAN EERESCHULD TERHADAP SOEHARTO DAN ORDE BARU”
(Refleksi 9 tahun gerakan reformasi; Sebuah gugatan atas masa lalu)

EERESCHULD” (Hutang kehormatan), dalam pengertiannya adalah; “Hutang yang atas nama kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim” (H.V. Kol & S.Suryaningrat, Perjoangan Nationaal, 1919). Tuntutan Eereschuld pertama kali di lakukan oleh Van Deventer dalam tulisannya dimajalah De Gids (terbit di Belanda, 1899), yang menjabarkan dampak dari Cultuur Stelsel (tanam paksa), yang mengakibatkan kebodohan, kemiskinan dan kelaparan kaum bumiputera di Hindia, serta ancaman kebangkrutan kolonial. Eereschuld kemudian menjadi gerakan moral hingga akhirnya mendorong Politik Etis yang mengharuskan pemerintah mengembalikan sejumlah kekayaan Hindia yang telah mereka rampas selama berabad - abad, pemerintah kolonial juga harus memperbaiki ekonomi agriculture yang hancur akibat Cultuur Stelsel, memberikan akses yang lebih luas atas pendidikan dan membuka keran pers bebas. Lebih jauh, Eereschuld berhasil mendorong dibukanya kebebasan berserikat bagi kaum bumiputera (lahirnya Boedi Oetomo, 1908), yang akhirnya mempelopori kemunculan organisasi – organisasi pergerakan nasional dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Politik Etis sendiri berkembang menjadi ajaran hukum ketatanegaraan dimasa mentri Idenburg.

ORDE BARU
Transisi kekuasaan politik dari Soekarno kepada Soeharto, telah mendorong terjadinya pembersihan politik berdarah (political cleansing), yang mengawali sejarah kelam dan kolonialisme Orde Baru di Indonesia. Pada awal kekuasaannya, ORBA memberikan harapan perbaikan hidup bagi rakyat, pembangunan fisik dari hutang luar negeri memang terjadi (tersentralisasi di Jawa), sebagai cicilannya, hutan – hutan ditebangi, dan hanya sedikit yang ditanam kembali. Minyak, emas, dan hasil bumi lainnya digadaikan murah kepada pihak asing, tanah rakyat mulai dirampas atas nama pembangunan, secara perlahan, keserakahan rezim yang mengadopsi system kapitalisasi kolonial Belanda, menancapkan cakarnya demi keuntungan dan modal kekuasaan. Metode kolonial dan hukum Belanda mereka pelihara agar dapat membungkam kritik, kemerdekaan berserikat dibatasi, kebebasan pers diawasi, rakyat dibodohi secara structural dan haknya dilanggar, sejarahpun dimanipulasi. Sungguh benar apa yang dikatakan Douwes Dekker “ bahwa kolonialisasi tidak akan memikirkan idealisme, mereka telah menyerahkan dan mengorbankan cita – citanya sendiri pada keserakahan ..
Orde Baru ditopang oleh tiga pilar utamanya, yaitu; Golongan Karya, yang merupakan pilar birokrasi dan mesin politik utama bagi kekuasaan Soeharto, GOLKAR bertugas melegalkan semua tindakan rezim, sekaligus menjamin keberlangsungan kekuasaan, membangun peradaban korup, melegalkan kolusi, membudayakan suap, mengusung nepotisme dan menghancurkan moral birokrasi Indonesia. Pilar kedua ORBA adalah pilar ekonomi, yaitu; “konglomerasi kroni” Pilar ini diisi oleh orang - orang yang sangat dekat dengan kekuasaan rezim dan mendapatkan berbagai fasilitas untuk mengeruk kekayaan nusantara demi keuntungan kas dan modal kekuasaan. hinga ketika krisis ekonomi menyerang Newly Industrial Economic States yang dibangun dari hutang luar negeri kepada “ The Bretton Woods” (termasuk Indonesia), negeri kita porak poranda dan belum pulih hingga kini. Pilar ketiga adalah pilar militer, tugas mereka memastikan “stabilitas dan keamanan” wilayah jajahan yang membentang dari Sabang sampai Merauke, menjamin usaha para konglomerat dan menjaga kepentingan birokrat orba. Dibekali dengan senjata “ Dwi fungsi”, mereka dibolehkan turut serta dalam politik dan ekonomi, duduk diparlemen dan menentukan masa depan rakyat yang tidak pernah mereka wakili, menghamburkan peluru atas nama pembangunan agar rakyat tersingkir dari tanahnya, menangkapi tokoh kritis yang berseberangan dengan pemerintah, menculik, menyiksa serta membunuh aktivis pro demokrasi dan mahasiwa demi kelanggengan kekuasaan rezim Soeharto.

IMPUNITY VS EERESCHULD
9 tahun sejak reformasi’98 memaksa Soeharto turun dari kekuasaannya, keadaan Indonesia belum menjadi lebih baik, mayoritas rakyat masih hidup dalam kemiskinan seperti di zaman kolonial dulu (53% dari populasinya berpenghasilan di bawah USD 2), yang adalah sebab akibat dari kebodohan karena mahalnya biaya pendidikan, tingginya tingkat pengangguran, korupsi, hingga hilangnya hak – hak rakyat dalam menuntut keadilan. Ketidakmampuan negara memberikan rasa keadilan dan kegagalan mereka menciptakan kemakmuran rakyat, adalah, sebuah IMPUNITY structural yang harus dilawan tanpa tawar menawar.
Persoalan yang sekarang terjadi adalah bom waktu warisan ORBA, dan menjadi kronis ketika agenda reformasi’98 yang dibayar dengan nyawa mahasiswa, “dirampas” oleh elit politik, (yang terbukti gagal mengawal proses transisi demokrasi). Hanya beberapa waktu setelah reformasi, mesin - mesin politik ORBA yang sempat mati suri, bergerak kembali, puncaknya dalam PEMILU 2004 lalu, dengan kamuflase demokrasi ditengah keputus-asaan rakyat mereka kembali berkuasa, paradigma baru GOLKAR adalah jubah berbulu domba untuk menyembunyikan moncong serigalanya, militer ORBApun, menanggalkan baju loreng mereka dan berganti dengan kemeja safari sambil menyanyikan lagu romantis untuk menarik hati ibu - ibu rumah tangga yang sedang putus asa karena mahalnya harga - harga (Dispread housewife), dan para konglomerat ke istana sambil bersenda gurau tentang bisnis mereka.
Kita harus bangun dan kembali terjaga bahwa kegagalan melawan impunity akan membawa negeri ini dengan mudah melupakan dosa dan hutang para penjajahnya, ini berarti kita berada dipinggir jurang kelaliman, akan datangnya penjajah lama berwajah baru, karena ketidakmampuan melawannya adalah kejahatan berdiam diri! (Silent of Crime), dan kita harus melawannya! Sedangkan mereka (Soeharto dan ORBA), secara mutlak, demi kehormatan harus membayar hutang mereka walaupun tidak dapat dituntut dimuka hakim (EERESCHULD).
“EERESCHULD” Bukan pengadilan jalanan, karena secara moral didasari oleh keinginan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat, meski secara moral motivasinya berbeda, (karena Van Deventer, hanya bertujuan untuk menyelamatkan kolonialisme Belanda dari kebangkrutan seperti yang dialami oleh Spanyol), keberhasilannya dimasa lalu adalah sebuah yurisprudensi hukum ketatanegaraan yang dapat diajadikan acuan yang legal dan berlaku, mekanisme hukum dan perangkatnya dapat kita ambil dari beberapa mekanisme dan lembaga yang lahir setelah reformasi, yang merupakan “tools” agar dapat digunakan untuk penegakkan keadilan dan hukum, karena masa lalu bukan sekedar pengungkapan kebenaran (truth), tetapi juga persoalan keadilan (Justice), baru kita bisa berekonsiliasi.

“WILL” (KEHENDAK)
Will! adalah kekuatan gerakan Eereschuld yang paling utama. “ Persoalannya bukan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau!” (A. Napitupulu, 1998). Mau tidak kita mendesak tuntutan Eereschuld terhadap Soeharto dan ORBA? Mau tidak kita menggunakan tools yang ada, demi keadilan dan kemakmuran? Karena transisi demokrasi yang sekarang tertatih - tatih, harus kembali kita pandu (Gid). agar tidak terjerumus dalam jurang tirani, demokrasi harus kita selamatkan! Karenanya, sebagai sebuah gerakan politik, Eereschuld harus kita jadikan pondasi masa depan untuk keluar dari bayang – bayang kelam masa lalu dan sebuah mekanisme untuk lepas dari dendam politik terhadap Soeharto dan ORBA, ketidakmampuan kita keluar dari masa lalu akan menjadi warisan kepada anak cucu kita, hingga kebencian akan ada turun - temurun. Oleh sebab itu setiap sen yang diambil oleh Soeharto dan ORBA, harus dikembalikan, setiap nyawa yang hilang karena kekejaman mereka, rohnya harus disempurnakan dengan keadilan, setiap tanah yang dirampas, harus didapatkan lagi, dan setiap sejarah yang dimanipulasi harus diluruskan. Jadi! Sebelum kering basah dibibir, sebelum hari ini menjadi esok, dan esok berubah menjadi sejarah, sebelum sejarah menjadi legenda dan legenda hanya mejadi sebuah mithos! Tuntutan EERESCHULD terhadap Soeharto dan ORBA harus dilakukan!