Friday, September 14, 2007

TUNTUTAN EERESCHULD TERHADAP SOEHARTO DAN ORDE BARU”

"TUNTUTAN EERESCHULD TERHADAP SOEHARTO DAN ORDE BARU”
(Refleksi 9 tahun gerakan reformasi; Sebuah gugatan atas masa lalu)

EERESCHULD” (Hutang kehormatan), dalam pengertiannya adalah; “Hutang yang atas nama kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim” (H.V. Kol & S.Suryaningrat, Perjoangan Nationaal, 1919). Tuntutan Eereschuld pertama kali di lakukan oleh Van Deventer dalam tulisannya dimajalah De Gids (terbit di Belanda, 1899), yang menjabarkan dampak dari Cultuur Stelsel (tanam paksa), yang mengakibatkan kebodohan, kemiskinan dan kelaparan kaum bumiputera di Hindia, serta ancaman kebangkrutan kolonial. Eereschuld kemudian menjadi gerakan moral hingga akhirnya mendorong Politik Etis yang mengharuskan pemerintah mengembalikan sejumlah kekayaan Hindia yang telah mereka rampas selama berabad - abad, pemerintah kolonial juga harus memperbaiki ekonomi agriculture yang hancur akibat Cultuur Stelsel, memberikan akses yang lebih luas atas pendidikan dan membuka keran pers bebas. Lebih jauh, Eereschuld berhasil mendorong dibukanya kebebasan berserikat bagi kaum bumiputera (lahirnya Boedi Oetomo, 1908), yang akhirnya mempelopori kemunculan organisasi – organisasi pergerakan nasional dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Politik Etis sendiri berkembang menjadi ajaran hukum ketatanegaraan dimasa mentri Idenburg.

ORDE BARU
Transisi kekuasaan politik dari Soekarno kepada Soeharto, telah mendorong terjadinya pembersihan politik berdarah (political cleansing), yang mengawali sejarah kelam dan kolonialisme Orde Baru di Indonesia. Pada awal kekuasaannya, ORBA memberikan harapan perbaikan hidup bagi rakyat, pembangunan fisik dari hutang luar negeri memang terjadi (tersentralisasi di Jawa), sebagai cicilannya, hutan – hutan ditebangi, dan hanya sedikit yang ditanam kembali. Minyak, emas, dan hasil bumi lainnya digadaikan murah kepada pihak asing, tanah rakyat mulai dirampas atas nama pembangunan, secara perlahan, keserakahan rezim yang mengadopsi system kapitalisasi kolonial Belanda, menancapkan cakarnya demi keuntungan dan modal kekuasaan. Metode kolonial dan hukum Belanda mereka pelihara agar dapat membungkam kritik, kemerdekaan berserikat dibatasi, kebebasan pers diawasi, rakyat dibodohi secara structural dan haknya dilanggar, sejarahpun dimanipulasi. Sungguh benar apa yang dikatakan Douwes Dekker “ bahwa kolonialisasi tidak akan memikirkan idealisme, mereka telah menyerahkan dan mengorbankan cita – citanya sendiri pada keserakahan ..
Orde Baru ditopang oleh tiga pilar utamanya, yaitu; Golongan Karya, yang merupakan pilar birokrasi dan mesin politik utama bagi kekuasaan Soeharto, GOLKAR bertugas melegalkan semua tindakan rezim, sekaligus menjamin keberlangsungan kekuasaan, membangun peradaban korup, melegalkan kolusi, membudayakan suap, mengusung nepotisme dan menghancurkan moral birokrasi Indonesia. Pilar kedua ORBA adalah pilar ekonomi, yaitu; “konglomerasi kroni” Pilar ini diisi oleh orang - orang yang sangat dekat dengan kekuasaan rezim dan mendapatkan berbagai fasilitas untuk mengeruk kekayaan nusantara demi keuntungan kas dan modal kekuasaan. hinga ketika krisis ekonomi menyerang Newly Industrial Economic States yang dibangun dari hutang luar negeri kepada “ The Bretton Woods” (termasuk Indonesia), negeri kita porak poranda dan belum pulih hingga kini. Pilar ketiga adalah pilar militer, tugas mereka memastikan “stabilitas dan keamanan” wilayah jajahan yang membentang dari Sabang sampai Merauke, menjamin usaha para konglomerat dan menjaga kepentingan birokrat orba. Dibekali dengan senjata “ Dwi fungsi”, mereka dibolehkan turut serta dalam politik dan ekonomi, duduk diparlemen dan menentukan masa depan rakyat yang tidak pernah mereka wakili, menghamburkan peluru atas nama pembangunan agar rakyat tersingkir dari tanahnya, menangkapi tokoh kritis yang berseberangan dengan pemerintah, menculik, menyiksa serta membunuh aktivis pro demokrasi dan mahasiwa demi kelanggengan kekuasaan rezim Soeharto.

IMPUNITY VS EERESCHULD
9 tahun sejak reformasi’98 memaksa Soeharto turun dari kekuasaannya, keadaan Indonesia belum menjadi lebih baik, mayoritas rakyat masih hidup dalam kemiskinan seperti di zaman kolonial dulu (53% dari populasinya berpenghasilan di bawah USD 2), yang adalah sebab akibat dari kebodohan karena mahalnya biaya pendidikan, tingginya tingkat pengangguran, korupsi, hingga hilangnya hak – hak rakyat dalam menuntut keadilan. Ketidakmampuan negara memberikan rasa keadilan dan kegagalan mereka menciptakan kemakmuran rakyat, adalah, sebuah IMPUNITY structural yang harus dilawan tanpa tawar menawar.
Persoalan yang sekarang terjadi adalah bom waktu warisan ORBA, dan menjadi kronis ketika agenda reformasi’98 yang dibayar dengan nyawa mahasiswa, “dirampas” oleh elit politik, (yang terbukti gagal mengawal proses transisi demokrasi). Hanya beberapa waktu setelah reformasi, mesin - mesin politik ORBA yang sempat mati suri, bergerak kembali, puncaknya dalam PEMILU 2004 lalu, dengan kamuflase demokrasi ditengah keputus-asaan rakyat mereka kembali berkuasa, paradigma baru GOLKAR adalah jubah berbulu domba untuk menyembunyikan moncong serigalanya, militer ORBApun, menanggalkan baju loreng mereka dan berganti dengan kemeja safari sambil menyanyikan lagu romantis untuk menarik hati ibu - ibu rumah tangga yang sedang putus asa karena mahalnya harga - harga (Dispread housewife), dan para konglomerat ke istana sambil bersenda gurau tentang bisnis mereka.
Kita harus bangun dan kembali terjaga bahwa kegagalan melawan impunity akan membawa negeri ini dengan mudah melupakan dosa dan hutang para penjajahnya, ini berarti kita berada dipinggir jurang kelaliman, akan datangnya penjajah lama berwajah baru, karena ketidakmampuan melawannya adalah kejahatan berdiam diri! (Silent of Crime), dan kita harus melawannya! Sedangkan mereka (Soeharto dan ORBA), secara mutlak, demi kehormatan harus membayar hutang mereka walaupun tidak dapat dituntut dimuka hakim (EERESCHULD).
“EERESCHULD” Bukan pengadilan jalanan, karena secara moral didasari oleh keinginan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat, meski secara moral motivasinya berbeda, (karena Van Deventer, hanya bertujuan untuk menyelamatkan kolonialisme Belanda dari kebangkrutan seperti yang dialami oleh Spanyol), keberhasilannya dimasa lalu adalah sebuah yurisprudensi hukum ketatanegaraan yang dapat diajadikan acuan yang legal dan berlaku, mekanisme hukum dan perangkatnya dapat kita ambil dari beberapa mekanisme dan lembaga yang lahir setelah reformasi, yang merupakan “tools” agar dapat digunakan untuk penegakkan keadilan dan hukum, karena masa lalu bukan sekedar pengungkapan kebenaran (truth), tetapi juga persoalan keadilan (Justice), baru kita bisa berekonsiliasi.

“WILL” (KEHENDAK)
Will! adalah kekuatan gerakan Eereschuld yang paling utama. “ Persoalannya bukan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau!” (A. Napitupulu, 1998). Mau tidak kita mendesak tuntutan Eereschuld terhadap Soeharto dan ORBA? Mau tidak kita menggunakan tools yang ada, demi keadilan dan kemakmuran? Karena transisi demokrasi yang sekarang tertatih - tatih, harus kembali kita pandu (Gid). agar tidak terjerumus dalam jurang tirani, demokrasi harus kita selamatkan! Karenanya, sebagai sebuah gerakan politik, Eereschuld harus kita jadikan pondasi masa depan untuk keluar dari bayang – bayang kelam masa lalu dan sebuah mekanisme untuk lepas dari dendam politik terhadap Soeharto dan ORBA, ketidakmampuan kita keluar dari masa lalu akan menjadi warisan kepada anak cucu kita, hingga kebencian akan ada turun - temurun. Oleh sebab itu setiap sen yang diambil oleh Soeharto dan ORBA, harus dikembalikan, setiap nyawa yang hilang karena kekejaman mereka, rohnya harus disempurnakan dengan keadilan, setiap tanah yang dirampas, harus didapatkan lagi, dan setiap sejarah yang dimanipulasi harus diluruskan. Jadi! Sebelum kering basah dibibir, sebelum hari ini menjadi esok, dan esok berubah menjadi sejarah, sebelum sejarah menjadi legenda dan legenda hanya mejadi sebuah mithos! Tuntutan EERESCHULD terhadap Soeharto dan ORBA harus dilakukan!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home